Jakarta (17/9) -- Plt. Asisten Deputi Bidang Pemberdayaan dan Kerukunan Umat Beragam Kemenko PMK, cecep Khairul Anwar menerima audiensi Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) dalam rangka persiapan Festival Perdamaian yang rencananya akan dislenggarakan di Syahidah Inn, Ciputan, Tanggerang Selatan akhir September mendatang. Audiensi dilaksanakan di ruang rapat lantai 13 Kantor Kemenko PMK, Jakarta (17/9).
Mengawali arahannya, Cecep mengungkapkan bahwa berdasarkan survei yang dilaksanakan oleh Mata Air Fondation dan Alvara Research Center pada tahun 2017 menunjukkan bahwa 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.
Diterangkan juga bahwa mayoritas pelajar dan mahasiswa memang setuju dengan NKRI sebagai bentuk negara dibanding khilafah. Namun, perlu diingat bahwa ada 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar yang memilik Khilafah dibanding NKRI.
Demikian juga tentang idiologi Pancasila, ada 18,6 persen pelajar memilih idiologi Islam sebagai idiologi bernegara dibanding Pancasila. Sedangkan dikalangan mahasiswa sebanyak 16,8 persen memilih idiologi Islam dibanding Pancasila sebagai idiologi bernegara.
Sama halnya temuan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menurut Cecep , hasil kajian LaKIP pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 menemukan bahwa terungkap bahwa hampir 50 persen pelajar setuju tindakan kekerasan berdasarkan radikalisme. "Gejala itu terjadi khususnya di kalangan mahasiswa kampus-kampus umum atau sekuler, yang tidak berlandaskan agama," ujarnya.
Menurut Cecep, menipisnya pemahaman tentang wawasan kebangsaan khususnya dikalangan generasi muda dan pudarnya pemahaman nilai-nilai Pancasila mejadi pangkal persoalan munculnya radikalisme di sekolah maupun kampus. Selain itu, lanjut Cecep, hal lainnya disebabkan karena melemahnya akhlak dan moral, kurangnya toleransi dalam kehidupan beragama, dan munculnya rasa kedaerahan yang sempit, serta kurangnya rasa kegotongroyongan.
"Pesatnya teknologi informasi di mana informasi menjadi kekuatan yang amat berpengaruh dan rentan terhadap manipulatif informasi semakin menambah masalah yang menjadi penyebab maraknya pengaruh radikalisme di kalangan mahasiswa dan pelajar," ungkap Cecep.
"Melihat data-data penelitian dari berbagai lembaga penelitian maupun survei, termasuk data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun Badan Intelejen Negara (BIN) serta penyebab maraknya radikalisme kiranya apa yang di inisiasi oleh AGPAII harus di sambut dan diapresiasi dengan baik," kata Cecep.
Festival Perdamaian, kata Cecep, menjadi sangat strategis karena melibatkan pelajar dan guru dalam menciptakan perdamaian serta menyebarkan paham toleransi. "Dari pelajarlah kita putus rantai paham radikal yang saat ini sudah menyusup ke kampus-kampus dan dengan pengawasan guru pendidikan agama Islam di sekolah faham radikal di kerdilkan," jelas Cecep.