KEMENKO PMK -- Perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak yang akan memberikan dampak negatif bagi anak itu sendiri. Dampak dari perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun juga akan berdampak pada anak yang akan dilahirkan, serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi.
Sejak adanya revisi UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang mengatur tentang pendewasaan usia perkawinan, kasus dispensasi kawin melonjak drastis dari 23.386 (2019) menjadi 64.487 (2020). Namun menunjukkan trend menurun terutama dari tahun 2020, 2021 hingga 2022.
Data dari Australia-Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) tahun 2022 menyatakan, terdapat 400.000 kasus anak dan remaja menikah setiap tahunnya di Indonesia dan hanya 65.000 kasus dispensasi kawin diajukan ke Pengadilan. Hal ini menandakan bahwa masih terdapat lebih dari 330.000 perkawinan anak dan remaja setiap tahunnya yang tidak dapat dicatatkan oleh KUA atau Capil karena tidak melalui pengadilan.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kemenko PMK Imron Rosadi menjelaskan, sebagian besar kasus perkawinan anak disebabkan pengasuhan yang rentan dan kurangnya pengawasan dari orangtua. Selain itu, masih banyak kasus orang tua yang menjodohkan anaknya dan menikahkan pada usia dini.
Hal tersebut disampaikannya saat memimpin Rapat Koordinasi penguatan kapasitas pada para pihak yang melakukan pendampingan terhadap keluarga dan penanganan pencegahan perkawinan anak, di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, secara daring yang dihadiri perwakilan Kemenag, Kemensos, KPPPA, BKKBN dan unsur Forkopimda Kota Cirebon, pada Jumat (18/8/2023).
"Karenanya kita harus memastikan anak yang melakukan perkawinan masih dapat terpenuhi haknya dan mendapatkan pendampingan untuk memperkecil terjadinya dampak negatif perkawinan anak," ujarnya.
Lebih lanjut, Imron menjelaskan, masih banyaknya kasus perkawinan anak menunjukkan belum optimalnya layanan bagi anak yang terlanjur atau terpaksa dinikahkan.
Menurutnya, advokasi dan sosialisasi terkait pencegahan perkawinan anak harus terus dilakukan oleh seluruh pendamping dan pemangku kepentingan terkait di daerah.
"Penguatan kapasitas pada para pihak yang melakukan pendampingan terhadap keluarga dan penanganan pencegahan perkawinan anak penting untuk dilakukan. Juga perlu dicek implementasi pelaksanaan Strategi Pelaksanaan Perlindungan Anak (Stranas PPA) untuk mencegah perkawinan anak di daerah" ucapnya.
Untuk itu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) akan melaksanakan penguatan kapasitas pada para pihak yang melakukan pendampingan terhadap keluarga dan penanganan pencegahan perkawinan anak, di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat,
Rencananya, kegiatan penguatan kapasitas pada para pihak yang melakukan pendampingan terhadap keluarga dan penanganan pencegahan perkawinan anak dilakukan di Kabupaten Cirebon. Lokus tersebut dipilih karena termasuk daerah yang cukup banyak memberikan dispensasi perkawinan anak.
Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, sampai Agustus 2023, jumlah Perkara Dispensasi Kawin di Provinsi Jawa Barat mencapai 2838 atau 11% dari total perkara. Jumlah Perkara Dispensasi Kawin di Kab. Cirebon (Pengadilan Agama Sumber) mencapai 236 perkara.
Kegiatan rencananya akan dilakukan pada 29 Agustus 2022 dengan metode rapat fullday yang akan dihadiri oleh 100 orang peserta dari unsur Pemda dan OPD terkait. Kemudian juga akan dihadiri oleh narasumber dari Kementerian dan Lembaga yang memiliki kompetensi terkait.
Dalam penguatan kapasitas juga akan dilakukan sosialisasi dan pengecekan intervensi Stranas PPA yang menjadi dokumen strategis yang menjadi acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah. Adapun lima (5) sasaran strategis Stranas PPA terdiri dari; optimalisasi kapasitas anak; lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak; aksesibilitas dan perluasan layanan; penguatan regulasi dan kelembagaan; dan penguatan koordinasi pemangku kepentingan.