Etos Kerja Dan Gotong Royong Merupakan Kata Kunci Untuk Mewujudkan Masyarakat Yang Literat

Terwujudnya masyarakat yang literat atau berpengetahuan merupakan tujuan dari pembudayaan literasi. Literasi saat ini tidak hanya dipandang sebagai kegemaran membaca dan menulis namun perlu dipahami sebagai kemampuan berbahasa (menyimak, membaca, memirsa, menulis, berbicara) yang dipadukan dengan kemampuan berpikir (mengakses, mengeksplorasi, mengidentifikasi, memproses, memperhitungkan, mempertanyakan, memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi) sehingga seseorang memiliki kemampuan untuk menggunakan, mengekspresikan, menciptakan, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang diperolehnya (Trianto dan Heryani, 2021)

Program kegiatan literasi sudah dimulai sejak awal kemerdekaan melalui Kursus ABC dan Rencana Pendidikan Masyarakat (1951), Penghapusan Buta Huruf Latin (1960), Program Paket A (1970), Wajib Belajar 9 Tahun (1990), Pendidikan Non Formal (2003), Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (2006), Penumbuhan Budi Pekerti (2015), serta Gerakan Literasi Nasional (2016). Pada awal kemerdekaan kegiatan literasi lebih fokus kepada penghapusan buta aksara dan sejak tahun 2015 mulai diarahkan kepada peningkatan kegemaran membaca melalui penumbuhan budi pekerti.

Meningkatnya budaya literasi untuk mewujudkan masyarakat berpengetahuan, inovatif dan kreatif merupakan salah satu sasaran Prioritas Nasional Revolusi Mental dan Pemajuan Kebudayaan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Namun peningkatan budaya literasi tersebut, memiliki kendala antara lain terkait akses dan layanan literasi, penyediaan konten literasi yang berkualitas dalam berbagai moda, peningkatan budaya kegemaran membaca, serta peningkatan sarana TIK untuk mendukung transformasi digital.

Berbicara tentang akses, menurut data Perpusnas RI, pada Tahun 2020 baru terdapat 34.306 desa/kelurahan yang memiliki perpustakaan desa atau perpustakaan kelurahan. Sementara berdasarkan hasil pendataan Potensi Desa Tahun 2018 yang dilakukan oleh BPS menunjukan bahwa dari 83.931 desa/kelurahan yang ada di Indonesia, hanya 15.804 desa/kelurahan yang memiliki Taman Bacaan Masyarakat (TBM) atau sekitar 18,83% saja. Selain jumlah, sebaran layanan perpustakaan juga tidak merata. Sebanyak 121.549 perpustakaan atau 47,89% dari 253.809 perpustakaan di Indonesia, berada di Pulau Jawa (Perpusnas RI, 2020).

Secara konten literasi, jumlah koleksi bahan bacaan di seluruh perpustakaan yang tersebar di seluruh Indonesia pada tahun 2020 adalah sebanyak 22.318.080 eksemplar atau hanya 4,13% dari jumlah ideal yaitu sebanyak 540,40 juta eksemplar, sebagaimana standar The International Federation of Library Associations and Institutions (IFLA)/Unesco, yang menyatakan bahwa rasio ketercukupan koleksi perpustakaan minimal dua kali jumlah penduduk. Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk 2020 sebanyak 270,20 juta jiwa.

Tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia juga relatif masih rendah. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan Perpusnas RI, tingkat kegemaran membaca masyarakat Indonesia tahun 2020 yang diukur melalui tiga variabel, yaitu frekuensi membaca, durasi membaca, dan jumlah buku yang dibaca; baru sebesar 55,74.

Sedangkan untuk mendukung transformasi digital, saat ini masih terdapat  beberapa daerah yang tidak dapat mengakses internet. Berdasarkan hasil pendataan Potensi Desa Tahun 2018, terdapat 6.961 desa (8,29%) desa yang tidak atau belum memiliki sinyal internet.

Untuk mengatasi beberapa permasalahan yang mengemuka di atas, Kementerian/ Lembaga terkait telah melakukan upaya melalui berbagai program, seperti:

  • Perpusnas RI melalui Program Pembinaan dan Pengembangan Perpustakaan, Pengembangan Kegemaran Membaca, serta Peningkatan Indeks Literasi Masyarakat;
  • Kemendikbud melalui program Penguatan Literasi di Sekolah, serta Pengembangan Budaya Literasi melalui Taman Bacaan Masyarakat (TBM);
  • Kemendagri melalui program Peningkatan Kegemaran Membaca Daerah;
  • KemendesPDTT melalui program Perpustakaan Desa dan Internet Desa; serta
  • Kementerian/Lembaga teknis lainnya yang melalui program peningkatan pengetahuan/ kemampuan masyarakat sesuai dengan bidangnya, misalnya Literasi Digital oleh Kemenkominfo; Literasi Finansial oleh OJK; Literasi Keselamatan di Jalan Raya oleh Kemenhub; Literasi Moderasi Beragama oleh Kemenag; Literasi Perdagangan oleh Kemendag; Literasi Hijau oleh KemenLHK, Literasi Pertanian oleh Kementan, dan masih banyak lagi.    

Walaupun telah banyak program atau kegiatan peningkatan budaya literasi yang saat ini telah dan sedang dilakukan oleh kementerian/lembaga, namun pada pelaksanaannya masih belum bersinergi dan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Sehingga dampak dari pelaksanaan program tersebut belum banyak dirasakan oleh masyarakat luas. Beberapa indikator baik tingkat nasional maupun global yang menunjukkan masih rendahnya budaya literasi di Indonesia memperkuat dugaan tersebut. Beberapa indikator dimaksud antara lain:

  • Nilai Budaya Literasi Tahun 2019 sebesar 59,11;
  • Tingkat Gemar Membaca Tahun 2020 sebesar 55,74;
  • Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) Tahun 2019 sebesar 37,32%;
  • Indonesia National Assessment Programme (INAP) Tahun 2016, untuk Nilai Kemampuan Membaca sebesar 46,83;
  • Nilai Programme for International Student Assessment (PISA) Indonesia Tahun 2018 menempati posisi ke 80 dari 85 negara.

Menyimak hasil dari beberapa indikator di atas yang kurang baik, maka sinergi dan gotong royong antar pemangku kepentingan dalam peningkatan budaya literasi mutlak harus dilakukan untuk meningkatkan akses dan layanan literasi. Diperlukan suatu bentuk kolaborasi dan sinergi dari kementerian/lembaga terkait, misalnya Perpusnas sebagai pembina dan pengembangan seluruh perpustakaan; Kemendikbudristek sebagai penanggungjawab pengembangan perpustakaan sekolah, Perguruan Tinggi, PKBM, PAUD dan TBM; Kemenag sebagai penanggungjawab perpustakaan di pondok pesantren, sekolah dan perguruan tinggi keagamaan; Kemendagri sebagai koordinator kebijakan pemerintah daerah; KemendesPDTT sebagai regulator pemanfaatan dana desa, Bappenas, Setkab, Kemenko PMK, dan Pemerintah Daerah, serta pemangku kepentingan terkait lainnya (akademisi, DUDI, komunitas/penggiat, dan media).

Penyiapan konten literasi juga perlu gotong royong antar pelaku kepentingan. Berdasarkan monitoring dan evaluasi, banyak perpustakaan desa/kelurahan dan perpustakaan masyarakat kekurangan konten literasi, namun di sisi lain Kementerian teknis banyak memproduksi konten literasi dalam berbagai moda sesuai bidang tugasnya dan membutuhkan banyak media penyalurannya. Kedua sisi tersebut seringkali tidak terhubung, sehingga perlu suatu mekanisme untuk memfasilitasi hubungan saling menguntungkan tersebut.   

 

SKEMA SINERGI DAN GOTONG ROYONG

LINTAS KEMENTERIAN/LEMBAGA DALAM PETA JALAN PEMBUDAYAAN LITERASI

 

 

Sinergi dan gotong royong antar pemangku kepentingan dalam peningkatan budaya literasi perlu didesain dan diformalkan. Saat ini Kemenko PMK sedang mengembangkan Peta Jalan Pembudayaan Literasi, sebagai wadah kolaborasi dan gotong royong seluruh pemangku kepentingan dalam peningkatan budaya literasi. Peta Jalan Pembudayaan Literasi (PJPL) nantinya akan menjadi pedoman bersama dalam peningkatan budaya literasi antar pemangku kepentingan.

Selain gotong royong, etos kerja seluruh pemangku kepentingan juga perlu ditingkatkan. Ketertinggalan Indonesia dalam berbagai indikator nasional dan global memaksa kita untuk berusaha dengan sungguh-sungguh dan konsisten. Dengan etos kerja dan gotong royong seluruh pemangku kepentingan, niscaya tujuan peningkatan budaya literasi untuk mewujudkan masyarakat berpengetahuan atau literat, inovatif, dan kreatif dapat tercapai. 

Kontributor Foto: