ASF: Akhirnya, Tiba Juga Di Asia

Sejak Maret 2019 lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyarankan Vietnam untuk menetapkan wabah Flu Babi Afrika (ASF) yang menyebar dengan cepat sebagai darurat nasional. Imbauan ini disampaikan usai deteksi adanya temuan virus ASF sebulan sebelumnya di tiga peternakan di dua provinsi di bagian utara Vietnam dan menyebar ke 17 provinsi di Vietnam Utara dengan 239 wabah yang sudah dikonfirmasi. 

Kawasan Asia Tenggara diminta waspada akan kemunculan wabah baru zoonosis bernama Demam Babi Afrika.

Daging babi diketahui menyumbang tiga perempat dari total konsumsi daging di Vietnam bagi negara berpenduduk 95 juta jiwa ini. Secara keseluruhan, terdapat 30 juta ekor babi yang berada di berbagai pusat peternakan di sepanjang negeri. “Dengan hilangnya babi karena infeksi ASF dan tindakan pengendalian mengarah kepada beban ekonomi yang berat bagi banyak keluarga di pedesaan,” kata Albert T. Lieberg, perwakilan FAO di Vietnam, setelah bertemu dengan pihak berwenang Vietnam. 

Seiring imbauan FAO itu, Vietnam lalu melaksanakan pengendalian ketat terhadap pemeliharaan babi dan aneka produk olahannya. Untuk babi yang berpotensi menyebarkan wabah lebih meluas lagi, Veitnam lalu memusnahkan lebih 25.000 ekor babi. ASF, menurut keterangan FAO, memang tidak dapat disembuhkan pada babi ataua mematikan tetapi tidak berbahaya bagi manusia. ASF dalam waktu bersamaan juga menyebar secara cepat di China, negara tetangga Vietnam. Beijing dengan tegas melarang impor babi, babi hutan dan produk olahan berbahan babi dari Vietnam. 

Wabah  ASF terus “menjalar” hingga pertengahan tahun 2019. Hingga Bulan Agustus, negara tetangga Vietnam seperti Thailand telah memusnahkan lebih dari 200 ekor babi di tengah kekhawatiran mengenai potensi demam babi Afrika. Thailand memang belum melaporkan adanya wabah demam babi Afrika yang terjadi di negaranya meskipun negar di sekitarnya seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja telah melaporkan adanya kasus Wabah ASF.

Departemen Peternakan Thailand dalam keterangan resminya mengatakan bahwa  pemusnahan babi itu adalah “langkah pencegahan” setelah dua babi mati secara misterius di Provinsi Chaing Rai di bagian utara negeri itu, sekitar 20 kilometer dari Myanmar. “Kami telah membunuh lebih dari 200 ekor babi di dua peternakan di sana,” kata Npporn Mahakanta, Kepala Kantor Peternakan Provinsi, seperti dikutip dari Reuters Dia menambahkan tindakan ini sejalan dengan regulasi internasional tentang pencegahan wabah zoonosis. “Mereka berada dalam radius satu kilometer dari babi yang sakit dan mati,” katanya lagi. 

Noporn mengatakan sampel darah dan jaringan babi pertama telah dikirim ke satu laboratorium di provinsi lain Thailand Utara, Lampang, untuk dilihat apakah hewan itu telah terserang demam babi Afrika. Hasil laboratorium dapat diperoleh sekitar 14 hari, katanya. 

Meruaknya kabar demam babi Afrika ini terutama di seluruh Kawasan Asia dimulai pertama kali dideteksi pada Agustus 2018 lalu di China. Dengan temuan ini, populasi babi yang terpaksa dimusnahkan di Negeri Tirai Bambu itu mencapai 40 persen, sedangkan China saat ini masih tercatat sebagai produsen daging babi terbesar di dunia. Korea Selatan adalah negara paling akhir yang terpengaruh virus ASF.  

Setahun kemudian atau tepatnya jelang akhir Agustus 2019, Pemerintah Timor Leste kemudian mengumumkan virus Demam Babi Afrika untuk pertama kali dan menjangkit ternak di negaranya, kata organisasi dunia untuk kesehatan hewan (OIE) yang berpusat di Paris dalam laman resminya. Seratus kasus penyakit Demam Babi Afrika telah menewaskan 405 ekor babi milik peternak rumahan di Dili atau wilayah utara Timor Leste, kata Kementerian Pertanian dalam laporannya seperti dikutip OIE. 

Timor Leste merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia, khususnya Provinsi Nusa Tenggara Timor. Dua negara ini berbagi wilayah di Pulau Timor yang terletak di sebelah utara Australia. Berdasarkan data sensus pada 2015, jumlah babi yang diternak di wilayah terjangkit wabah mencapai 44.000 ekor. Hingga saat ini, pihak kementerian belum dapat memperkirakan bagaimana wabah dapat menjangkit ternak di Timor Leste. Sejauh ini, belum ada vaksin yang dapat mencegah penularan virus ASF. Virus itu tidak hanya mengganggu produksi babi tetapi juga komoditas lain yang menjadi pakan babi seperti jagung dan bungkil kedelai (soymeal).

Wabah Demam Babi Afrika pertama secara retrospektif diakui terjadi pada tahun 1907 setelah ASF pertama kali ditemukan pada tahun 1921 di Kenya. Penyakit ini tetap terbatas di Afrika sampai tahun 1957, ketika dilaporkan di Lisbon , Portugal . Wabah lebih lanjut terjadi di Portugal pada tahun 1960. Setelah “perkenalan awal” ini, ASF jadi mapan menahun di semenanjung Iberia dan wabah sporadis terjadi di Perancis , Belgia , dan negara-negara Eropa lainnya selama tahun 1980-an. Baik Spanyol dan Portugal telah berhasil memberantas penyakit ini pada pertengahan 1990-an melalui kebijakan penyembelihan.  

Virus ASF kemudian melintasi Samudera Atlantik dan wabah dilaporkan di beberapa Pulau Karibia, termasuk Hispaniola (Republik Dominika). Wabah besar ASF di Afrika secara teratur dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (sebelumnya bernama L'office international des épizooties ). (*)