Jakarta (26/10) -- Permasalahan gizi buruk atau stunting masih menjadi momok dalam pembangunan manusia Indonesia. Salah satu provinsi yang memiliki masalah stunting cukup tinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Berbagai upaya intervensi dilakukan pemerintah, di antaranya yaitu program bangga kencana.
Program Bangga Kencana atau Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana merupakan program yang bertujuan untuk mengarahkan agar keluarga mempunyai rencana berkeluarga, punya anak, pendidikan dan sebagainya sehingga akan terbentuk keluarga-keluarga berkualitas.
Untuk mengoptimalkan program intervensi tersebut secara terpadu, terkoodinir, dan lintas sektor, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) menggelar Rapat Koordinasi Program Bangga Kencana, pada Senin (26/10).
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK Agus Suprapto mengatakan bahwa dalam penangganan stunting khususnya di NTT penting untuk terkoordinir, terpadu, dan lintas sektor. "
Menko PMK sangat menaruh perhatian besar dalam penanganan stunting ini. Apalagi, Presiden RI Joko Widodo telah mencanangkan target yang ambisius, yaitu berada di angka 14% pada tahun 2024," kata Agus.
Menurut Agus, di NTT khususnya di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD) termasuk satu dari 100 kabupaten prioritas penanganan stunting. Di sana masih banyak bayi dan balita yang mengalami gizi kurang hingga stunting. Kasus di sana disebabkan multi faktor yang saling berkaitan, seperti masih minimnya sarana dan prasarana sanitasi, kurangnya sumber air bersih, kesadaran masyarakat, dan sebagainya.
"Berdasarkan hasil pemantauan lapangan Tim Kemenko PMK tanggal 1-3 Okober ditemukan masih banyak bayi dan balita yang mengalami gizi kurang, buruk dan stunting," tukasnya.
Dalam sesi pemaparan, Direktur Bina Pelayanan KB Wilayah Khusus BKKBN Maria Evi Ratnawati mengatakan menurut Data dari Survey Kinerja dan Akuntabilitas Program (SKAP) Tahun 2019 Total Fertility Rate (TFR) Provinsi NTT sebesar 3,26. Unmet need di NTT saat ini juga tergolong rendah yaitu sebesar 12,4 Persen. Unmet need adalah kebutuhan KB yang belum terpenuhi.
Tingginya angka unmet need di berpeluang terhadap tingginya angka kematian ibu, hal itu dikarenakan akibat kehamilan yang tidak diinginkan Padahal, masih menurut Survey Kinerja dan Akuntabilitas Program (SKAP) Tahun 2019 pengetahuan Remaja 15-24 Tahun tentang Kesehatan Reproduksi Remaja di Provinsi NTT cukup tinggi, yakni 60,9 persen. Sementara untuk Pengetahuan Keluarga terhadap 8 Fungsi Keluarga pun cukup tinggi dengan 68,9 persen. Angka ini tergolong sangat baik, NTT pun menempati posisi ke-3 teratas survei SKAP secara nasional.
Maria mengatakan bahwa penanganan masalah kekeluargaan di NTT tidak bisa disamakan dengan wilayah lainnya. Sebab NTT menurut dia mempunyai keunikan tersendiri. Penanganannya pun harus dilakukan secara khusus. Terkait program bangga kencana di NTT, Maria mengatakan sudah dilakukan di 4 area program yaitu Pembangunan Keluarga, Keluarga Berencana & Kesehatan Reproduksi, Pengendalian Penduduk, dan Advokasi, Penggerakan & Informasi.
Sementara itu Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes, Erna Mulati mengatakan, masalah stunting di NTT erat kaitannya angka kematian ibu dan angka kematian bayi. Intervensi yang dilakukan Kemenkes antara lain Penguatan AMP dalam menurunkan AKI dan AKB oleh tim Terpadu di RS Rujukan, Orientasi Pelayanan KB Pasca Persalinan (KBPP), dan Orientasi Pelayanan Kesehatan Neonatal Essensial.