KEMENKO PMK — Kemenko PMK melalui Kedeputian Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan melakukan pertemuan lintas sektor memperkuat pengendalian resistensi antimimroba melalui reviu Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN PRA) 2020-2024 di Bogor, pada Rabu (11/9/2024).
Resistansi antimikroba diketahui merupakan salah satu dari 10 ancaman kesehatan masyarakat global yang membahayakan pengobatan efektif berbagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri, parasit, virus, dan jamur.
Selain itu, keberlanjutan respons kesehatan masyarakat global terhadap penyakit menular juga terancam.Penelitian terbaru menunjukkan bahwa setidaknya 1,27 juta kematian setiap tahun yang berhubungan langsung dengan bakteri resistan (resistansi antibiotik).
Asisten Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Nancy Dian Anggraeni menyampaikan, penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan obat antimikroba dalam pengobatan manusia dan produksi pangan telah membuat setiap negara rentan terhadap masalah ini. Akibatnya, antibiotik dan obat antimikroba lainnya kehilangan efektivitasnya, membuat infeksi menjadi lebih sulit atau tidak mungkin diobati, dan hanya sedikit solusi baru yang dikembangkan.
“Resistansi antimikroba perlu diidentifikasi lebih dalam permasalahannya di Indonesia, agar ke depan lebih banyak lagi yang terlibat dalam pengendaliannya. Di tingkat global sudah banyak data resistansi antimikroba, sedangkan di indonesia perlu dilihat kembali sejauh mana resistansi antimikroba memberikan dampak baik di manusia, hewan, lingkungan, dan produktivitas pangan,” ungkap Nancy.
Nancy menyampaikan, pertemuan ini merupakan bagian dari upaya pemantauan dan evaluas untuk meninjau pelaksanaan RAN PRA sepanjang 2020-2024, sekaligus untuk mempersiapkan penyusunan rencana aksi pada periode 2025-2029 mendatang.
Sesi pembahasan dipakukan dengan pemaparan dari Bappenas terkait arah kebijakan pengendalian resistansi antimikroba pada RPJMN 2025-2029 yang memberikan gambaran bentuk kebijakan dan strategi rencana aksi ke depan. Lebih lanjut, juga dibahas mengenai mekanisme koordinasi yang diharapkan dapat melibatkan stakeholder lebih luas, seperti sektor swasta, LSM, perguruan tinggi, pusat riset, serta masyarakat.
Turut hadir dalam pertemuan, sejumlah perwakilan dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Sekretariat Kabinet, serta organisasi profesi dan mitra pembangunan, seperti FAO dan WHO.
“Setelah pertemuan ini akan diagendakan serangkaian kegiatan untuk merumuskan rencana aksi nasional yang komprehensif dan melibatkan multipihak," tutur Nancy dalam sesi penutupan.