Jakarta –“Lebih dari 75% anak disabilitas belum mengenyam pendidikan, padahal kebijakan pemenuhan hak pendidikan anak disabilitas sudah tertuang dalam CRPD, SGDs, konvensi hak anak dan UU 8/2016. Harapannya rapat ini bisa memastikan adanya jaminan akses pendidikan anak disabilitas yang lebih baik. Demikian disampaikan Asisten Deputi Pemberdayaan Disabilitas dan Lanjut Usia, Roos Diana Iskandar, saat membuka Rapat Koordinasi “Akses Bersekolah Anak Disabilitas dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2023”, pada 22 Juni 2023.
Pendidikan merupakan aspek prioritas pembangunan nasional sebagai upaya mewujudkan generasi emas 2045 untuk semua anak bangsa termasuk anak disabilitas. PPDB menjadi bahasan penting karena sebagai jalur pendaftaran afirmasi untuk anak disabilitas sesuai Permendikbud No 1 tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan Pasal 21 menyebutkan bahwa jalur afirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b diperuntukkan bagi calon peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu dan Penyandang Disabilitas. Dalam prakteknya, terdapat kesenjangan dan tantangan untuk akses bersekolah anak disabilitas di Indonesia.
Rakor dihadiri oleh Kemendikbud, Kemendagri, Kementerian Agama, Komisi Nasional Disabilitas (KND), Ombudsman, Kantor Staf Presiden (KSP), OPDis/organisasi masyarakat (NLR Indonesia, Wahana Inklusif Indonesia, PPDI, CHAI Indonesia).
Rachmita Maun Harahap, Komisioner KND, menyampaikan rapat koordinasi ini salah satu langka awal kolaborasi antar K/L, dan berharap bisa mempresentasikan akses pendidikan bagi anak disabiltas serta percepatan akses bersekolah disabilitas di daerah.
Eka Prastama, Komisioner KND, dalam paparannya menjelaskan bagaimana kesenjangan akses pendidikan anak disabilitas dibanding anak non-disabilitas. Mayoritas penyandang disabilitas berpendidikan SD/sederajat ke bawah (70,85 %), sedangkan penduduk non-disabilitas berpendidikan SMP/sederajat ke atas (63,64 %). Rata-rata Lama Sekolah (RLS) disabilitas hanya 5,32 tahun atau setara kelas 5 SD/sederajat sedangkan non-disabilitas mencapai 9,18 tahun atau setara kelas 9 SMP/sederajat. “Jika merujuk Catatan Akhir Tahun (CATAHU) Formasi Disabilitas tahun 2022, sejumlah regulasi yang ada belum sejalan dalam memastikan terbukanya sistem pendidikan inklusif penyandang disabilitas serta arah kebijakan perluasan kesempatan pendidikan melalui sistem pendidikan Inklusif perlu didukung dengan peningkatan kapasitas lembaga pendidikan maupun tenaga pendidikannya”, imbuhnya.
Tenaga Ahli Utama Deputi II KSP menambahkan bahwa negara harus menjamin akses pendidikan yang non-diskriminatif bagi disabilitas dalam PPDB, sehingga bisa diakses oleh siapapun. Hal ini diperkuat oleh Tenaga Ahli Madya Deputi V KSP dimana PPDB menjadi pintu masuk akses pendidikan anak disabilitas yang harus dipastikan keterjangkauannya serta perlunya jejaring pentahelix dengan peran media dan OPDis sehingga mampu tersosialisaikan secara masif.
Selanjutnya David selaku Ketua Pokja Regulasi dan Tata Kelola Kemendikbud menambahkan bahwa dari pemantauan implementasi PPDB afirmasi disabilitas masih terjadi penolakan dari pihak sekolah maupun masyarakat. Hal ini karena kurangnya edukasi masyarakat terkait konsep inklusi dan minimnya sarana dan parasarana yang aksesibel di sekolah. Perwakilan Kemendikbud lainnya menambahkan bahwa hasil evaluasi PPDB 2022 di 17 provinsi, hanya 9% Pemda yang memberi perhatian terhadap disabilitas dan limitasi ragam disabilitas karena terbatasnya pendidik dan sarana-prasarana. RPermendikbud tentang Akomodasi yang Layak (AYL) dan Unit Layanan Disabilitas (ULD) juga sedang terus berproses, diharapkan ke depan dapat menjadi solusi bagaimana sekolah menangani anak disabilitas serta penyediaan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Kerja sama dengan lembaga lain juga dikembangkan oleh Kemendikbud dengan Mitra Pembangunan, dimana target sekolah penyelenggara inklusi ditargetkan meningkat 0,2 % di tahun 2023.
Perwakilan Kemenag menjelaskan saat ini setidaknya ada 1.500 madrasah inklusif meski dengan segala keterbatasan kemampuan guru serta sarana-prasarana. Dalam PPDB, maksimal 10% dialokasikan kuota untuk anak disabilitas untuk pemerataan dan mempertimbangkan kondisi madrasah.
Tenaga Ahli Utama Deputi II KSP menambahkan bahwa negara harus menjamin akses pendidikan yang non diskriminatif bagi disabilitas dalam PPDB, sehingga bisa diakses oleh siapapun. Hal ini diperkuat oleh Tenaga Ahli Madya Deputi V KSP dimana PPDB menjadi pintu masuk akses pendidikan anak disabilitas yang harus dipastikan keterjangkauannya serta perlunya jejaring pentahelik dengan peran media dan OPDis sehingga mampu tersosialisaikan secara masif.
Perwakilan Ombudsman menyampaikan dari hasil pemantauan layanan publik bidang pendidikan, ada tiga hal penting yaitu kurangnya komitmen Pemda, tidak adanya GPK, serta stigma dan kesiapan orangtua. Penting dilakukan upaya jemput bola karena situasi masyarakat memerlukan dukungan dan penanganan cepat.
Perwakilan Ditjen Bina Bangda Kemendagri menambahkan, akses pendidikan menjadi bagian dari SPM dan menjadi indikator kinerja daerah termasuk kelompok anak disabilitas. Dukungan moril kepada orang tua menjadi salah satu faktor penting agar anak mau bersekolah, dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi dan mendukung pendidikan inklusif dalam menyediakan AYL.
Memperkuat fakta di lapangan, Dina dari Yayasan NLR Indonesia menjelaskan tantangan akses pendidikan anak dengan disabilitas yaitu adanya stigma diri, stigma masyarakat, minimnya akses informasi dan kesiapan orang tua, kesetaraan akses, terbatasnya sarana dan prasarana penunjang belajar, minimnya pemahaman warga sekolah serta pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik. NLR Indonesia melakukan upaya diantaranya membentuk dan menguatkan forum orang tua, pendataan, kampanye pendidikan inklusif serta peningkatan kapasitas tenaga pendidik. Namun perlu KolaborAksi berbagai pihak untuk bisa mencapai pendidikan inklusif yang setara bagi semuanya termasuk anak disabilitas.
Rakor ditutup oleh dengan upaya komitmen dan koordinasi bersama mengupayakan percepatan regulasi turunan UU 8/2016, kebijakan tentang GPK, strategi kolaboratif jangka pendek peningkatan sistem PPDB 2023, sosialisasi dan edukasi hak akses pendidikan dengan keluarga, dukungan kepada Pemda, serta strategi pemantauan bersama K/L terkait dan OPDis/Organisasi Masyarakat.