Sejak 2019, guncangan global yang meliputi pandemi COVID-19 dan perang di Ukraina berakibat pada kenaikan harga komoditas yang tinggi. Hal ini memperburuk risiko sistemik yang sedang berkembang dari sistem pangan, seperti ketidakstabilan produksi pertanian, kelangkaan sumber daya alam, meningkatnya ketimpangan ekonomi, dan ketidakstabilan perdagangan dan rantai pasok. Risiko tersebut mengancam ketahanan pangan dan resiliensi sistem pangan di seluruh dunia.
Mempertimbangkan perkembangan situasi tersebut diatas, Kemenko PMK berkolaborasi dengan berbagai instansi pemerintah, akademisi, sektor swasta, masyarakat sipil, serta World Food Programme (WFP), mengembangkan pemahaman strategis terkait bagaimana rantai pasok pangan nasional dapat diadaptasikan agar mampu memainkan perannya dimasa depan dalam menjaga ketahanan pangan.
Hari ini, bertempat di Kemenko PMK, WFP beraudiensi dengan Asisten Deputi Bidang Kedaruratan dan Manajemen Pasca Bencana Kemenko PMK Nelwan Harahap. Audiensi ini untuk memaparkan temuan dan analisis dari konsultasi dan penelitian Rantai Pasok Pangan, serta merekomendasikan sebuah pendekatan konseptual yang dapat diadopsi untuk meningkatkan efisiensi, keberlanjutan, dan ketangguhan rantai pasok pangan Indonesia.
WFP Project Manager Suply Chain Katarina Kohutova menyampaikan, fungsi pangan sangatlah fundamental bagi kehidupan manusia. Ketika persediaan pangan tedampak, maka akan terdampak pula pada komunitas masyarakat termiskin. Ini akan menjadi masalah besar bagi perlindungan sosial di Indonesia.
Tercatat sejak Desember 2021-Juli 2022, Kemenko PMK dan WFP melakukan konsultasi yang meliputi beberapa area dengan melibatkan Kementerian PPN/Bappenas, Kemenko Ekon, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, Kemenko Marves, Kemensos, Kemenkes, dan BUMN, perguruan tinggi, serta asosiasi logistik di Indonesia.
WFP Global Consultan Ian Heigh memaparkan hasil final dari penelitian ini. Ia menyampaikan, konsep ketahanan pangan datang dari Pemerintah Indonesia sendiri, yaitu bagaimana pemenuhan pangan yang sehat dan terjangkau.
Menurut berbagai laporan, sistem pangan di Indonesia, khususnya dalam hal ketersediaan, menangani volume yang melebihi dari jumlah kecukupan kalori harian masyarakat. Keberhasilan ini dicapai dengan berfokus pada ketersediaan 11 pangan pokok prioritas (beras, jagung, kedelai, bawang, cabai, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, gula konsumsi, minyak goreng, dan ikan) yang diawasi oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas).
Secara umum, konsensus dari sumber data dalam penelitian ini menyepakati bahwa lebih terjangkau bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kalori harian dengan pangan pokok tersebut. Kelompok pangan lain yang mengandung protein, mikronutrisi, dan vitamin sebagaimana direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan untuk memastikan pola makan sehat, bergizi dan seimbang (saat ini tidak termasuk dalam kategori pangan prioritas yang diawasi oleh Bapanas), adalah kurang terjangkau bagi sebagian besar masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Nelwan menyampaikan, untuk menciptakan Indonesia Emas 2045, pada dasarnya Indonesia bisa memulainya dengan penyediaan modal pangan yang sehat dan bergizi. “Ketahanan pangan merupakan instrumen penting di dalam pembangunan manusia dan kebudayaan. Dalam RPJP 2020-2050, ada agenda penting yang harus dicapai, yaitu resiliensi keberlanjutan (bukan hanya bencana, tetapi bagaimana kita menghadapi multicrisis terhadap perubahan politik dan kebijakan global”, tambahnya.
Di akhir audiensi, Nelwan memastikan kepada WFP, agar pemerintah daerah dapat mengadopsi penelitian ini dalam kebijakan-kebijakan mereka. Ke depan, Nelwan mengajak WFP untuk bersama-sama membangun semacam pilot project implementasi kebijakan rantai pasok pangan di daerah-daerah.