Menghidupkan Obrolan Ndakik-Ndakik

Subtema: Revolusi Mental di Kampus

Oleh : Fathul Laili

Aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Perkembangan ilmu dan teknologi berjalan sangat cepat terlebih di era globalisasi. Kita dituntut untuk selalu update dengan segala informasi. Data Hootsuite, Indonesian Digital Report (2021), menunjukkan bahwa jumlah pengguna media sosial aktif sebanyak 170 juta, setara 61,8% dari jumlah po­pulasi di Indonesia, de­ngan rata-rata waktu menggunakan internet melalui perangkat apa pun setiap harinya mencapai 8 jam, 52 menit. Adanya akses mudah untuk mendapatkan informasi dengan hadirnya internet serta waktu yang digunakan untuk menyelami berbagai informasi tidaklah sedikit, maka seharusnya hal tersebut dapat meningkatkan pengetahuan. Akan tetapi, mengapa di Indonesia sendiri malah seakan mengalami kemunduran?

Kiranya perlu kita telisik lebih dalam terkait apa saja yang menjadi pembahasan masyarakat di jagat maya. Sangat di­sayangkan, isu hangat yang selalu trending di jagat media sosial di Indonesia tidak jauh-jauh dari topik problematika kehidupan artis, obrolan terkait film atau drama yang sedang on going, atau bisa kita sebut obrolan seputar gosip yang terkadang kurang ada manfaatnya. Beberapa orang bahkan menjadi haters dan mengeluarkan berbagai ujaran kebencian yang hanya dipicu oleh masalah sepele. Tak sedikit pula yang akhirnya blunder atas pernyataannya sendiri akibat tidak berpikir matang sebelum bertindak. Hal yang benar dan hal yang salah seakan abu-abu, tidak jelas karena sibuk berebut atensi.

Kalimat-kalimat kasar dan non etik disampaikan lewat tulisan di media sosial tanpa merasa bersalah, bahwa perbuatan tersebut keliru dan tidak seharusnya. Tidak sedikit yang ikut serta mengompori percakapan demi panjat sosial, ingin terkenal dan dikenal. Sangat miris ketika mengetahui masyarakat kita masih latah dalam menanggapi berbagai informasi yang diterima. Banyak dari mereka yang terpapar hoaks, hingga terjerumus karena memercayainya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kita belum mampu menjadi pengguna sosial media yang bijak.

Permasalahan tersebut diperparah dengan tidak adanya kehadiran instansi penengah yang bertindak sebagai pihak netral. Ia bertugas memberi informasi yang mengandung kebenaran diantara berbagai gempuran informasi yang bertebaran dan tidak jarang mengandung kesalahan. Lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi dianggap mampu menjadi salah satu alternatif benteng pertahanan melawan hoaks dengan budaya nalar kritis yang melekat dan telah suatu keharusan. Terdapat penemuan menarik dari Drone Emprit yang telah menyimpan data sejak 1 Januari 2018 hingga 2 Mei 2021 terkait Perguruan Tinggi dan Narasi Keilmuan di Media Sosial. Ditemukan bahwa tiga perguruan tinggi ternama Indonesia, nyatanya tak banyak membuat tagar yang berkaitan dengan fokus keilmuannya. Sebaliknya, banyak ditemukan tagar di luar aspek keilmuan, khususnya terkait politik.

Menurut Ismail Fahmi (2021), hal tersebut dapat terjadi dikarenakan minimnya jejaring media sosial civitas ketiga perguruan tinggi tersebut serta besarnya cluster pro-kontra di luar mereka yang menjadi jawaban kenapa tagar yang paling dominan tidak terkait keilmuan yang menjadi bidang keunggulan mereka. Selain obrolan terkait keilmuan, isu berkaitan dengan agama juga tak luput dari kata mengkhawatirkan. Pasalnya, banyak mahasiswa yang latah dan salah kaprah memahami suatu ilmu baru. Tak jarang mereka mengelu-elukan sebuah teori barat, jumawa merasa benar sendiri, padahal bisa jadi tidak sesuai dengan prinsip agama, ideologi Pancasila, serta budaya masyarakat Indonesia.

Terdapat tiga corak agama mahasiswa, eksklusif, inklusif, dan liberal (Rahmat, 2012). Bagi kalangan mahasiswa liberal, pembahasan mengenai berbagai isu tidak ada sangkut pautnya dengan agama. Mereka memisahkan agama dari aspek kehidupan. Segala hal diukur menggunakan teori. Obrolan mengenai agama dianggap hanya untuk pembahasan ibadah, tidak dengan isu kehidupan duniawiah. Lain halnya de­ngan mahasiswa eksklusif, mereka cenderung kaku terkait ajaran agama, cenderung merasa benar sendiri dan kurang dapat menerima pendapat yang berbeda. Dalam hal ini, mahasiswa kader Muhammadiyah yang masuk dalam corak in­klusif memiliki peran penting untuk menjadi garda terdepan mendakwahkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan Islam yang menggembirakan serta mencerahkan.

Media sosial dapat menjadi salah satu alternatif jalan dakwah literasi keagamaan. Media sosial mampu memobilisasi opini dan pemahaman untuk berbagai kalangan. Akan tetapi, dengan jumlah pengguna yang tidak sedikit, maka banyak pula konten yang diunggah dengan beragam jenis. Muncul tantangan baru untuk menyuarakan isu dan merebut atensi netizen. Ramainya lalu lintas informasi juga menyebabkan kaburnya isu penting yang seharusnya menjadi topik bahas­an. Para kader harus menyusun strategi pengelolaan media sosial dengan bahasan berbobot, tak mengapa jika harus ndakik-ndakik, namun tetap harus dilandasi dengan sumber dan data yang kuat, serta harus dapat dengan mudah diterima dan dipahami.

Pembahasan terkait agama harus dapat menempati ruang-ruang dialektis obrolan mahasiswa. Para kader dituntut untuk berpikir lebih kritis (critical thinking), bertindak lebih cerdas dan kreatif lagi, serta keluar dari zona nyaman saat ini. Oleh karena itu perubahan strategi mutlak diperlukan agar para kader dapat bertahan, menjadi ushuwah khasanah, serta menjadi bagian penting dari cerita peradaban yang sedang berlangsung (Syarifuddin, 2019). Para kader harus dapat membumikan gerakan amaliah-ilmiah dan ilmiah-amaliah. Arus modernitas yang digerakan oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai gerakan Muhammadiyah harus diimplementasikan dengan sebaik-baik amar ma’ruf nahi munkar. *

Kontributor Foto: