KEMENKO PMK -- Asisten Deputi Peningkatan Kualitas Kependudukan dan Keluarga Berencana (Asdep PK2KB) Kemenko PMK menggelar Diskusi Bersama Kementerian dan Lembaga terkait Konsolidasi Pembagian Tanggung Jawab dalam Penyediaan serta Pengawasan Alat dan Obat Kontrasepsi, di Jakarta, pada Jumat (13/9/2024).
Asisten Deputi Peningkatan Kualitas Kependudukan dan Keluarga Berencana Kemenko PMK Redemtus Alfredo Sani Fenat menyampaikan, rapat koordinasi ini bertujuan untuk membuat rumusan tentang usulan pihak penanggung jawab dalam penyediaan alat kontrasepsi darurat (alkondar) untuk korban tindak kekerasan seksual yang dapat menyebabkan kehamilan.
"Pentingnya konsolidasi antar kementerian dan lembaga untuk memastikan ketersediaan dan pengawasan alat kontrasepsi, khususnya untuk penanganan korban kekerasan seksual dan tindak pidana kekerasan lainnya," ungkap Alfredo.
Lebih lanjut, Asdep Alfredo menyampaikan, korban kekerasan seksual memiliki hak untuk menerima penanganan komprehensif, termasuk akses terhadap kontrasepsi darurat untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini diamanatkan dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024.
"Dalam pelaksanaannya, diperlukan konsolidasi antara kementerian terkait, pemerintah daerah, serta pihak swasta untuk memperjelas siapa yang bertanggung jawab dalam penyediaan alkondar bagi korban," jelasnya.
Selain itu rapat juga membahas usulan rekomendasi pengaturan penjualan alat kontrasepsi secara ritel, serta pemberian kondom oleh organisasi non pemerintah.
Alfredo menyampaikan, pengaturan penjualan alat kontrasepsi secara ritel, baik melalui platform daring (e-commerce) maupun toko fisik harus didasari dengan regulasi yang jelas.
"Kementerian Kesehatan dan BPOM menggarisbawahi perlunya regulasi ketat untuk memastikan alat kontrasepsi yang dijual di pasaran, terutama secara online, dapat memenuhi standar keamanan dan mutu yang telah ditetapkan," ungkapnya.
Kemudisn, pemberian kondom oleh organisasi non pemerintah juga diangkat sebagai bagian dari pengaturan distribusi yang harus diawasi lebih ketat. Hal ini menjadi perhatian karena peran organisasi non pemerintah dalam penyediaan kontrasepsi, khususnya kondom, sering kali tidak diawasi secara ketat, sehingga dapat menimbulkan risiko bagi masyarakat dan tidak sejalan dengan regulasi yang berlaku.
"Pengaturan yang komprehensif dibutuhkan untuk memastikan bahwa donasi atau hibah yang diberikan kepada masyarakat sesuai dengan regulasi pemerintah," ungkap Asdep Alfredo.
Dengan dirumuskannya langkah-langkah strategis serta komitmen kuat dari berbagai pihak, penyediaan alat kontrasepsi darurat (alkondar) diharapkan dapat diakses oleh mereka yang paling membutuhkan, khususnya bagi korban kekerasan seksual. Di sisi lain, penjualan alat kontrasepsi secara ritel akan diawasi secara ketat guna memastikan hanya produk berizin yang tersedia untuk publik.
Pemberian kondom oleh organisasi non-pemerintah juga akan diatur agar distribusinya dilakukan dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan standar kesehatan. Sinergi antar pihak serta komitmen bersama untuk mempercepat harmonisasi peraturan perundang-undangan diharapkan dapat memastikan layanan kesehatan reproduksi yang inklusif serta melindungi korban kekerasan seksual melalui akses yang lebih mudah dalam mendapatkan kontrasepsi darurat.