Rakor Tindak Lanjut Kemenko PMK tentang Perubahan Bentuk IAIN Menjadi UIN Bengkulu

Jakarta (03/09)--- Merubah bentuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dinilai masih memerlukan banyak pertimbangan termasuk evaluasi menyeluruh dan tidak hanya secara kelembagaan, tetapi juga sumber daya kependidikan yang ada. Deputi bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK, Agus Sartono mengungkapkan hal itu saat memimpin Rapat Koordinasi yang membahas mengenai perubahan bentuk IAIN menjadi UIN Bengkulu di ruang rapat lt.9 gedung Kemenko PMK, Jakarta, Selasa pagi.
 
“Akan lebih baik kalau kita sehatkan dulu (IAIN—red) yang sudah ada dengan menjadi center of excellence misalnya. Kalau sudah mantap, semua penilaian bagus, secara tidak langsung status pun berubah dengan sendirinya,” papar Agus. “Saya pikir juga sudah waktunya menugaskan perguruan tinggi keagamaan itu diberikan target akreditasi prodi yang baik dalam jangka waktu tertentu,” paparnya lagi.
 
Agus dalam arahannya juga mengungkapkan harapannya terhadap UIN, IAIN atau pun STAIN yang di masa mendatang menjadi perguruan tinggi keagamaan yang kekinian. Membuka prodi bidang vokasi misalnya, agar setiap lulusannya dapat segera terserap pasar kerja selain memang untuk menjawab tantangan pemerintah yang tengah gencar membangun SDM unggul. “KIP Kuliah yang tidak lama lagi akan diluncurkan, semoga juga banyak diserap oleh para calon mahasiswa dari Madrasah Aliyah atau Pondok Pesantren,” tambahnya.
 
Rakor pagi ini merupakan tindak lanjut dari Surat Gubernur Bengkulu kepada Menko PMK bernomor:  420.4/317/DINSOS/2019 tanggal 25 April 2019 Perihal Peningkatan Status IAIN Bengkulu Menjadi UIN Bengkulu dan surat Nomor: 019.3/540/PHB/2019 tanggal 5 Agustus 2019 Perihal Permohonan Audiensi  terkait proses peralihan status IAIN ke UIN Bengkulu. Melalui Rakor ini pula kemudian didapat gambaran tentang informasi proses perubahan bentuk IAIN menjadi UIN Bengkulu, baik Dosen, Akreditasi, Rasio Mahasiswa dan Dosen, Jumlah Mahasiswa, Jumlah Tenaga Kependidikan, Jumlah Prodi maupun Sarana  prasarana yang dimiliki. Utamanya lagi adalah menguatkan Koordinasi, Sinkronisasi dan Pengendalian (KSP) pada Kebijakan Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.
 
Tujuan perubahan bentuk itu tentu tidak lain adalah untuk meningkatkan akses pendidikan tinggi keagamaan; meningkatkan daya jangkau pemerataan dan sebaran pendidikan tinggi keagamaan; dan meningkatkan mutu serta daya saing penyelenggaraan pendidikan tinggi keagamaan.  Mekanisme perubahan bentuk ini sebelumnya telah diatur dalam PMA No.15 Tahun 2014 tentang Perubahan Bentuk Perguruan Tinggi Keagamaan.
 
Jumlah keseluruhan PTKIN (UIN, IAIN & STAIN) menurut catatan Direktorat PTIK adalah 58 Lembaga, antara lain UIN : 17 Lembaga; IAIN: 34 Lembaga; dan STAIN: 7 Lembaga, dengan jumlah seluruh prodi S1, S2 dan S3 mencapai 1656 Prodi yang terbagi atas Prodi Agama: 1475 Prodi dan Prodi Umum:  181 Prodi.
 
Meskipun kemudian sudah terdapat beberapa Institut yang berubah bentuk menjadi universitas, Direktorat PTIK Kemenag mencatat juga sejumlah kendala yang bermunculan pasca berubahnya status tadi. Kendala itu adalah jumlah dosen tetap  yang belum memenuhi rasio perbandingan Dosen/Mahasiswa yang ditetapkan oleh Kemeristekdikti dan syarat minimal jumlah Dosen Tetap Per-prodi Minimal 6 yang belum terpenuhi, yaitu sumber belajar mahasiswa masih sangat terbatas dan kekurangan guru besar; Ruang Perkuliahan belum cukup (IDB, SBSN, SFD); sarana penunjang seperti laboratorium dan gedung Perpustakaan Belum Memadai, dan penggunaan Internet masih terbatas.
Sementara untuk layanan, kendala yang ditemukan adalah layanan akademik dan layanan lainnya masih jauh dari maksimal karena kurangnya Tenaga Kependidikan (skema dosen tetap non PNS unsustainable). Layanan-layanan itu pada umumnya masih manual sehingga menyulitkan tenaga administrasi dan operator, serta Mahasiswa dan Dosen; Arsipasi Dokumen dan Temu Balik Informasi Tidak Efektif dan Efisien, di samping belum adanya Tenaga Arsiparis, juga disebabkan oleh sarana penunjang seperti Lemari Arsip, demikian juga dengan pengelolaan yang masih manual. Kendala utama berikutnya adalah Problem Integrasi Islam dan Sains belum dapat dijelaskan dengan baik (Institusional Integration). Belum ada Ma’had al Jaamiah yang berfungsi kuat untuk intergasi Islam dan Sains karena input didominasi dari almuni umum. (*)