Sekolah Gajahwong, Membangun Pendidikan untuk Anak Keluarga Prasejahtera

BRAFOPMK- Tahun 2020 lalu nama Herlita Jayadianti masuk dalam tokoh inspiratif sebagai Perempuan Inisiator Indonesia “Perempuan Berdaya Indonesia Maju” dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Republik Indonesia. Melalui kiprahnya di Sekolah Gajahwong, ia tetap berkomitmen sampai saat ini untuk lebih bermanfaat bagi perkembangan pendidikan anak yang dikenal dari keluarga pemulung Gajahwong di sekitar Ledhok Timoho, Kota Yogyakarta.

Nama Herlita sudah tidak asing lagi bagi kalangan aktivis pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Herlita bergelut didunia aktivis pendidikan berbasis local resources sejak 2002 bagi anak-anak yang kurang mampu dan anak berkebutuhan khusus, sementara sampai saat ini berkomitmen mengembangkan Sekolah Gajahwong.

Selama menjadi aktivis, Herlita menghabiskan banyak waktunya dengan mengadvokasi, mengajar, dan membimbing pentingnya pendidikan bagi anak meskipun berasal dari keluarga yang tidak mampu disekitar Ledhok Timoho. Tidak sendiri, 6 dedikator lainnya yang juga merangkap sebagai guru juga turut memperjuangkan akses pendidikan bagi Keluarga Prasejahtera disana, Faiz Fakhruddin (Pembina dan Koordinator Farm/Kegiatan luar kelas dan kewirausahaan), Neneng Hanifah Maryam (Koordinator Sekolah Gajahwong), Umi Zuhriyah (Administrator), Crestanti W Utami (Bendahara), Ira Savitri (Edukator), dan Sheila Mahesa Putri (Guru).

Gajahwong adalah nama identik dari spasial yang berada di bantaran sungai Gajahwong. Permukiman yang berada di Kampung Ledhok Timoho, Kelurahan Muja Muju, Kecamatan Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Awal tahun 2000, di sana menjadi tempat perkumpulan para anak jalanan, gelandangan, dan korban dari penggusuran beberapa tempat umum sebagai tempat perkumpulan mereka sebelumnya.

Semula hanya beberapa orang disekitar bawah jembatan, namun semakin hari semakin banyak ditempati oleh anak jalanan, pengamen, gelandangan yang bermukim di bantaran sungai sehingga menimbulkan beberapa permasalahan di sana, mulai dari penumpukan rumah tidak layak huni, kumpul kebo, banyak anak lahir diluar pernikahan, anak terlantar, pekerja anak, dan penumpukan sampah.

Tidak hanya itu, dampak lebih jauh mereka tidak mendapatkan layanan dasar sebagaimana penduduk/warganegara umumnya akibat ketiadaan administrasi kependudukan sampai dengan tempat tinggal. Melalui Gerakan TAABAH (Tim Advokasi Arus Bawah) mereka mulai berusaha untuk mendapat pengakuan pemerintah sebagai penduduk setempat, melalui perkawinan masal, pencatatan anggota keluarga, hingga pengakuan tempat sebagai sebuah permukiman yang kini telah menjadi alamat tetap. Latar belakang inilah yang menyebabkan peralihan perhatian Herlita dan suaminya (Faiz) di bantaran sungai Gajahwong.

Keterbatasan pemerintah saat itu menyebabkan kemiskinan disekitarnya meningkat. Program-porgram pemerintah tentu tidak dapat ditujukan pada masyarakat yang tidak berindentitas secara administrasi. Tidak hanya orang tua yang bekerja sebagai pemulung dan pengamen, anak-anaknya juga mulai terlibat dalam pekerjaan tersebut. Kesadaran beberapa orang tua berkat TAABAH juga mulai muncul, “bagaimana agar kehidupan masa depan anaknya menjadi lebih baik jika seperti ini terus?” ucap Herlita saat bercerita.

“Pada 2009, kami mulai berusaha merapikan data anggota keluarga dengan cara mencatat pasangan yang sudah memiliki anak, tetapi belum menikah. Lalu, kami menikahkan masal pasangan tersebut bekerja sama dengan KUA setempat. Kemudian, kami bantu mengurus KK bersama dinas dukcapil setempat dan baru kemudian pemerintah kota mulai menetapkan alamat tempat tinggal mereka menjadi legal di wilayah Kota Yogyakarta. Akhirnya, kami juga membentuk sekolah Gajahwong untuk anak-anak mereka,” jelas Herlita.

Meskipun baru diresmikan sebagai sekolah sejak tahun 2013, Sekolah Gajahwong telah berkembang menjadi 3 kegiatan utama, yaitu memberikan pendidikan dasar anak dari usia 3-15 tahun (Pendidikan Anak), melakukan kegiatan adaptasi dan pemanfaatan sumber daya lokal sebagai aktivitas pendidikan perkebunan dan peternakan (Gajahwong Farm), dan kegiatan kewirausahaan bagi penduduk setempat dan anak didik (Fundraising).

Secara lebih spesifik mereka membagi layanan pendidikan menjadi kelas akar sampai dengan kelas pohon (pelatihan dan pemberdayaan kelompok remaja-dewasa). Layanan pendidikan kemudian tidak hanya diberikan bagi masyarakat yang tinggal disekitar Gajahwong, tetapi juga masyarakat kurang mampu dari tempat tinggal lain. Keberhasilan ini juga tidak lepas dari kelembagaan berupa Yayasan Solidaritas Pendidikan Gajahwong Indonesia.

Kini, meskipun tidak ada lagi anak yang dieksploitasi untuk bekerja, Sekolah Gajahwong belum dapat memenuhi layanan untuk semua anak yang bermukim maupun yang ingin mengikuti pendidikan disana, dengan memperhatikan kualitas pendidikan seperti kapasitas kelas, perbandingan guru dan peserta didik, interaksi antara pengelola dan orang tua, serta juga sumber pendanaan untuk menjalankan beberapa kegiatan penunjang pembelajaran.

Dengan kepadatan 72 KK yang berjumlah >300 jiwa, sekolah Gajahwong hanya seluas 10 x 10 (meter), kapasitas ruang ini menyebabkan kemampuan daya tampung anak kelas akar dan kelas rumput masing-masing hanya 15 orang setiap pagi. Sekolah Gajahwong berkomitmen untuk tetap mengontrol perkembangan sekolah anak didiknya yang terdahulu melalui pendampingan setiap akhir pekan bagi kategori kelas lainnya yang juga menempuh sekolah formal diluar.

“Kami juga membantu anak-anak yang sulit mencari sekolah lanjutannya, untuk dapat diterima disekolah formal” Ucap Herlita.

Di tengah kejayaan Kota Yogyakarta, penyesuaian anak-anak dari keluarga prasejahtera tentu perlu usaha yang besar. Kemampuan layanan pendidikan di Kota Yogyakarta yang nyaris merata bahkan diatas rata-rata nasional semakin memegang prinsip kompetisi.

"Ketika terjadi keterbatasan dan perbedaan anak-anak lulusan sekolah Gajahwong dengan peserta didik secara umum tentu tidak dapat menjadi alasan untuk masuk dalam kuota tahun ajaran baru, sehingga peran sekolah Gajahwong semakin besar mulai dari memberikan kesadaran, partisipasi aktif, kepekaan, hingga penyetaraan," pungkasnya.(*)

Kontributor Foto: