Remaja Merokok Ancaman Bagi Masa Depan Bangsa

Jakarta (27/1) -- Indonesia menjadi salah satu negara dengan prevalensi merokok tertinggi di dunia. Hasil Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2011 menyebut 67% laki-laki merokok dan 87% orang dewasa terpapar asap rokok di rumah.

Sedangkan, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 juga menunjukkan prevalensi merokok di bawah usia 10-18 tahun adalah 9,1 dan 22 dari 100 remaja usia 15-19 tahun telah merokok.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto mengatakan bahwa remaja merokok dapat menjadi menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.

"Rokok ini menjadi ancaman besar bagi kita. Salah satu yang harus kita cegah adalah bagainana mengatasi masalah konsumsi rokok pada remaja," ujarnya saat mewakili Menko PMK Muhadjir Effendy saat menjadi pembicara kunci Serial Diskusi Refleksi Pengendalian Tembakau di Indonesia yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen secara daring, Rabu (27/1).

Menurut Agus, kebanyakan remaja belum memahami bahaya rokok sehingga masih mencoba rokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektrik. Hal ini juga yang menjadi tantangan dalam mewujudkan SDM unggul dan berdaya saing.

Padahal, salah satu indikator keberhasilan pembangunan SDM di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 ialah penurunan prosentase merokok usia 0-18 tahun dari 9,1 menjadi 8,7 pada 2024.

"Pemerintah telah menyusun beberapa strategi kebijakan pengendalian tembakau yang dibagi menjadi dua yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan nonfiskal. Tapi kebijakan itu tidak bisa dilakukan tanpa dukungan semua pihak," tegasnya.

Agus menyebutkan bahwa harga rokok yang masih rendah di pasaran saat ini juga dapat menjadi penghambat upaya mengurangi konsumsi rokok pada remaja. Oleh karena itu, ke depan diharapkan pemerintah dapat menaikkan harga rokok di pasaran.

"Secara formal, Kemenko PMK sudah melakukan diskusi dengan K/L terkait untuk membahas kebijakan tembakau dan rokok termasuk soal cukai. Alih-alih kenaikan cukai menambah pemasukan negara, justru pengeluaran negara juga banyak digunakan untuk biaya kesehatan perokok," pungkas Agus.

Di lain sisi, ia mengingatkan pesan Presiden Jokowi agar masyarakat tidak menggunakan dana bantuan sosial Covid-19 untuk membeli rokok. Pasalnya, hal itu tidak hanya mengganggu kestabilan ekonomi keluarga tetapi juga mengancam kesehatan keluarga.

"Hasil studi PKJS UI tahun 2018 menunjukan bahwa anak yang dibesarkan oleh orang tua yang merokok memiliki kemungkinan 5,5 kali lebih besar untuk menjadi stunting. Karenya, perlu mendapat perhatian para orangtua agar tidak mencontohkan hal yang kurang baik seperti merokok di dalam rumah," tandas Agus.

Reporter: