Jakarta (11/06) – Alat bantu menjadi kebutuhan dasar yang berpengaruh besar terhadap partisipasi penyandang disabilitas dan lansia dalam berbagai aspek pembangunan. Namun faktanya, ketersediaan alat bantu tersebut masih belum mencukupi akibat keterbatasan biaya dalam pengadaan dan penyedia alat bantu yang sangat terbatas serta belum merata di seluruh Indonesia.
Sejauh ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam memenuhi kebutuhan alat bantu untuk penyandang disabilitas maupun kelompok rentan lainnya, antara lain melalui pembiayaan dari Pusat, Provinsi, Kab./Kota.
Asisten Deputi Pemberdayaan Disabilitas dan Lanjut Usia Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK)Ade Rustama mengatakan bahwa perlu sinkronisasi dan koordinasi yang sistematis untuk meminimalisir gap penyediaan alat bantu ke penerima manfaat (penyandang disabilitas, lansia, penderita PTM, dan kelompok rentan lainnya).
"Hari ini kita mengadakan rapat untuk menindaklanjuti pertemuan koordinasi yang telah diselenggarakan sebelumnya tentang peningkatan akses pemenuhan alat bantu," ujarnya saat memimpin rapat.
Lebih detail, rapat itu diselenggarakan untuk menindaklanjuti dan diseminasi hasil scoping pemenuhan alat bantu yang dilakukan oleh Clinton Health Acces Initiative (CHAI) selama tahun 2019 dengan melibatkan kementerian dan lembaga.
Upaya pemanfaatan hasil pemetaan kapasitas kebutuhan alat bantu oleh kementerian dan lembaga, koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian guna mendorong kerjasama yang lebih kuat antara pemerintah dengan organisasi-organisasi non pemerintah.
"Pada tahun 2019, CHAI bekerjasama dengan World Health Organization (WHO) dan Global Disability Innovation telah melakukan kegiatan assessment terhadap kapasitas pemenuhan alat bantu di Indonesia. Hasilnya diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai kondisi kebutuhan terhadap alat bantu, serta kapasitas, celah, dan kesempatan yang ada guna meningkatkan akses pemenuhan kebutuhan alat bantu. Selain itu, dapat menjadi masukan dalam proses penyusunan kebijakan dan program terkait alat bantu di Indonesia," ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Program Officer Assistive Technology CHAI Indonesia Eka Prastama memaparkan, perlunya memperkuat sistem data yang mencakup spesifikasi kebutuhan alat bantu dengan sistematis dan terintegrasi, mengembangkan koordinasi nasional pemenuhan alat bantu untuk percepatan kebijakan, perlunya penguatan ketersediaan alat bantu standard berbasis kebutuhan individu yang terjangkau, serta penguatan sistem pengelolaan DAK fisik sosial.
"Di samping itu perlu juga untuk mengembangkan keterlibatan privat lembaga lokal atau internasional untuk percepatan pemenuhan serta peningkatan kualitas alat bantu," sebutnya.
Sementara itu, perwakilan TNP2K menilai kondisi so tengah pandemi Covid-19 saat ini semakin memperlihatkan kurangnya sorotan untuk penyandang disabilitas dan lansia. Oleh karenanya, pemerintah harus melakukan reformasi dari sistem perlindungan sosial.
Ia pun menyarankan perlu adanya perluasan jangkauan seperti bantuan social, pemutakhiran DTKS yang rencananya akan menjangkau > 40% dan perlu dilihat kembali data penyandang disabilitas dalam DTKS yang ada agar jangkauannya dapat diperluas.
"Beberapa organisasi penyandang disabilitas juga memberikan masukan. Mereka siap membantu dan mendukung pembuatan alat bantu bagi penyandang disabilitas, namun mereka juga terkendala oleh anggaran, terutama saat pandemi ini," tukasnya.
Menjawab hal tersebut, perwakilan Kementerian Dalam Negeri menyampaikan, bahwa Permendagri 100 Tahun 2018 dapat digunakan sebagai guidance Pemda untuk melakukan perencanaan kebutuhan alat bantu. Kemendagri juga mendorong RKPD tahun 2021 agar berpihak kepada penyandang disabilitas. Akan tetapi, tahun 2021, DAK Sosial diberhentikan karena anggaran tahun 2021 masih fokus pada penanganan Covid-19.
"Meskipun begitu, tetap diharapkan kebutuhan penyandang disabilitas tidak diabaikan," tuturnya.
Sementara itu, perwakilan Kantor Staf Presiden menegaskan perlunya peran BPJS Kesehatan untuk memperhatikan dan meningkatkan kualitas alat bantu. Ia juga menyarankan agar proses pembuatan alat bantu bisa dimulai dari hulu dengan melibatkan dan memberdayakan teman-teman penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas di daerah.
Menutup rapat, Ade menyampaikan hal-hal yang menurutnya memerlukan concern bersama, yang mengacu kepada rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh peserta rapat, antara lain: pertama, persoalan data yang menjadi yang merupakan hal yang penting, terutama bagi provider alat bantu. Ada organisasi yang melakukan upaya analisis terkait data-data disabilitas yang harapannya dielaborasi dengan data terbaru.
Terkait regulasi, ada PP yang mengatur Rencana Induk Inklusif Disabilitas, dimana salah satu saran strategisnya adalah akses terhadap penyandang disabilitas dalam rangka mencapai lingkungan inklusif yang bebas hambatan. Sementara terkait SDM dan rencana piloting, Ade mengapresasi support yang diberikan CHAI dalam kapasitasnya mendukung program-program disabilitas.
Hadir pula dalam rapat ini perwakilan BPJS Naker, Puspadi, SIGAB, Perdami, RSCM FKUI, Puspadi, Sehati, Yakkum, Tri Roda, dan lainnya.