Menko PMK Minta Daerah Perkuat Sosialisasi Covid-19

Jakarta (19/6) -- Fenomena jemput paksa jenazah pasien postif Covid-19 marak terjadi dewasa ini. Setidaknya ada delapan kasus jemput paksa jenazah pasien corona yang tercatat dari Maret hingga Juni ini yang terjadi di beberapa daerah. Terakhir, kasus jemput paksa jenazah terjadi di Rumah Sakit Mekar Sari, Bekasi timur yang terjadi pada 8 Juni lalu. 

Penjemputan dilakukan oleh pihak keluarga karena tidak terima perihal status pasien yang dikeluarkan oleh pihak rumah sakit setempat. Mereka juga ingin memproses pemulasaran jenazah secara pribadi tanpa protokol jenazah Covid-19.

Menanggapi fenomena tersebut, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, penyebab jemput paksa jenazah dikarenakan banyaknya informasi yang bias dan simpang siur di masyarakat terkait Covid-19. 

Menurut dia, seluruh pihak tidak hanya pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah, gugus tugas daerah sampai tokoh masyarakat perlu memberikan pemahaman dan informasi yang lengkap terkait Covid-19 ini.

"Mulai dari saat mereka harus mengikuti rapid tes dalam upaya kita untuk melakukan tracing. Kemudian pemulasaran jenazah yang sudah diketahui positif atau yang masih berstatus PDP," jelas Menko Muhadjir saat menjadi narasumber dalam program Prime Talk Metro TV, Kamis (18/6).

Agar tak terjadi simpang siur informasi dan pengulangan kasus penjemputan paksa, menurut Menko Muhadjir, tata laksana rumah sakit harus dibenahi dan dipercepat dalam menyiapkan informasi penetapan status pasien.

"Jadi kalau ada pasien yang diduga PDP sebaiknya segera diadakan tes swab kemudian segera dikirim ke laboratorium dan minta dipriortiaskan sehingga jaga-jaga kalau misalnya pasien mengalami kefatalan atau fatalitas itu bisa diketahui statusnya. Sehingga tidak menimbulkan konflik dengan ahli waris atau keluarga jenazah yang terjadi seperti saat ini," terangnya.

Kasus-kasus terjadinya penjemputan paksa, menurut Muhadjir, umumnya disebabkan oleh  misinformasi dan informasi hoax yang diterima masyarakat. Selain itu, menurutnya, ada pihak yang melakukan provokasi untuk melakukan penjemputan paksa jenazah pasien terduga Covid-19. Muhadjir meminta masyarakat mewaspadai pihak-pihak yang melakukan provokasi. Menurut dia, provokator bisa ditindak tegas secara hukum.

"Siapapun yang melakukan provokasi untuk menolak saya kira bisa ditindak secara hukum. Karena ini berarti bisa menganggu tujuan pemerintah untuk mengatasi Covid-19 ini," tukasnya.

Selain soal penjemputan paksa jenazah, Muhadjir menyoroti banyaknya fenomena penolakan rapid tes Covid-19. Fenomena tersebut, menurutnya, terjadi karena kesalah pahaman masyarakat yang panik dan beranggapan jikalau ada pelaksanaan tes pertanda ada hal buruk yang terjadi. 

"Maka itu sebetulnya harus dicek dulu prakondisinya seperti apa mereka apakah sudah siap untuk menerima rapidtes masal apa belum. Kalau sudah siap bisa diatur, protokol kesehatannya juga jangan sampai diabaikan. Kemudian bisa segera dilakukan kontak tracking untuk menentukan siapa PDP dan positif," tuturnya.

Agar tak terjadi kasus-kasus serupa di kemudian hari, Menko Muhadjir meminta kepada pemerintah daerah sampai gugus tugas daerah agar melibatkan banyak pihak tidak hanya tenaga kesehatan dalam melakukan sosialisasi pemahaman dan melakukan tes cepat seperti sosiolog, ahli demografi, ahli ekonomi. Sehingga, sebelum dilakukan tes cepat bisa dipahami kondisi di lapangan serta pihak gugus tugas bisa memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat.

"Saya juga sudah menyarankan kepada gugus tugas pusat supaya tim gugus tugas di daerah tidak hanya dari ahli kesehatan. Tetapi juga melibatkan ahli sosiologi, demografi tokoh agama agar pemahaman terhadap setting sosial di mana kita bekerja itu bisa dipahami. Sehingga jangan sampai terjadi kesalahpahaman karena itu tidak kita pahami secara utuh," pungkasnya.

Kontributor Foto:
Reporter: