Oleh : R Muhammad Mihradi (Pengajar Fak Hukum Universitas Pakuan, Bogor)
Di tahun 2000, Anthony Giddens menerbitkan buku, yang diterjemahkan oleh penerbit Gramedia berjudul “Jalan Ketiga” (The Third Way). Buku ini memaparkan gagasan Giddens soal-soal kritiknya tentang ideologi di dunia. Satu sisi, ideologi komunis memudar. Gagasan-gagasan sosialisme sudah tidak laku. Namun, di sisi lain, ide kapitalisme-liberalistik pun mengecewakan. Neo-liberalisme dengan memfasilitasi peran negara minimalis, tidak membawa realisasi janji kesejahteraan. Atas fenomena itu, Giddens mengusulkan, suatu jalan ketiga. Paduan mengambil koreksi dari sosialisme dan kapitalisme. Jalan tengah atau jalan ketiga diantara keduanya. Jadi pemikir internasional sekelas Giddens mendambakan ada ideologi tengah atau jalan ketiga.
Ide “Jalan Ketiga” sebenarnya, dalam konteks Indonesia, adalah Pancasila. Pancasila tidak anti korporasi. Kepentingan individu mendapatkan wahana. Namun, tidak segalanya. Sebab, Pancasila menghendaki pula imbangan kepentingan publik dilembagakan. Istilah Boediono, dalam ekonomi Pancasila, manusia Indonesia bukan melulu economic man. Melainkan social and religiuous man. Motif mengoptimalkan kepentingan pribadi tidak satu satunya motif. Solidaritas, cinta terhadap sesama, kebenaran, keadilan, keagamaan dan sosial bisa menjadi sumber penggerak sama kuatnya bagi aktivitas ekonomi (Boediono, Ekonomi Indonesia Mau Ke Mana, 2009: 47-64).
Dengan kata lain, dari sisi rasionalitas ekonomi, Pancasila tidak bermasalah. Bahkan, kekinian. Dari sisi hukum, tegas baik di Pembukaan UUD 1945 maupun UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meletakan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum. Atau istilah Prof Hamid Attamimi, Pancasila merupakan bintang pemandu (leitsstar) bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Problemnya, zaman saya sekolah tahun 1980-an dan 1990-an, agak sukar menemukan orang lupa sila Pancasila. Ada program penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan durasi paket sekian puluh jam plus pelbagai kemasan. Ada cerdas tangkas Pancasila. Lomba lagu lagu bertema Pancasila dan sebagainya. Meski dikritik berbau indoktrinasi. Namun tidak dapat dielakan, sukses menanamkan pemahaman Pancasila. Bahkan, survey Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), 75 persen masyarakat merindukan P4. Mata pelajarannya pun populer di sekolah menengah, yang disebut Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Bisa jadi, ini penyebab di masa Orba, soal radikalisme, terorisme dan potensi disintegrasi tidak menonjol. Meski rezim Orba bukan tanpa kritik. Pola otoriterismenya menyebabkan demokrasi tersumbat dan korupsi menghebat.
Tentu kita sepakat, Pancasila harus diaktualkan kembali. Sebab, Pancasila ideologi bangsa. Bintang penuntun (leitstar) kemana bangsa ini hendak melangkah. Perkara kerap nilai Pancasila berjarak dengan realita, menurut Soerjanto Poespowardojo (Pancasila Sebagai Ideologi, BP7,1991), merupakan hal wajar. Sebab, hakikatnya, ideologi tidak lain adalah hasil refleksi manusia terkait kemampuan mengadakan distansi terhadap dunia kehidupannya. Pasti ada jarak, ideologi dengan kenyataan. Maka, secara alamiah terjadi dialektika ideologi dengan kenyataan hidup. Sehingga ada hubungan timbal balik. Satu sisi, memacu ideologi makin realistis. Di sisi lain, mendorong masyarakat mendekati bentuk ideal. Bagi saya, semakin mendekatnya jarak ideologi dengan kenyataan mesti dimodifikasi. Caranya, melalui edukasi, sosialisasi dan penanaman nilai berkelanjutan. Disitulah penting memasukan pendidikan Pancasila di kurikulum wajib pendidikan mulai dasar sampai perguruan tinggi seperti yang sudah berlaku saat ini.
Era Kemasan
Suka tidak suka, ideologi Pancasila jika hendak berperan di badai global harus berkompromi dengan kemasan. Model penataran zaman baheula sudah susah dipakai. Generasi tik tok sangat berkepentingan dengan inovasi. Mungkin, ideologi Pancasila harus dikemas baru. Dibuat aplikasi. Model game. Atau paket tayangan ala drakor (drama korea). Tentu perlu melibatkan dua pihak. Pakar yang memahami ideologi Pancasila dan konten kreator.
Apakah mungkin Pancasila dikemas seperti di atas? Atau pertanyaan lebih mendasar, apakah Pancasila bisa mengikuti zaman? Bagi saya sangat bisa. Disertasi Backy Krisnayuda (Pancasila dan Undang-Undang Relasi dan Transformasi, 2017) menjelaskan, Pancasila merupakan ideologi terbuka. Otomatis, Pancasila memiliki sikap membuka diri dengan pelbagai penafsiran. Apalagi isi sila-silanya tidak langsung operasional, sehingga setiap generasi bisa menggali sesuai tantangan zamannya.
Cuman, memang soal Pancasila dari zaman Orba sampai reformasi adalah kesunyian keteladanan. Generasi millenial bukan tipe mudah percaya dengan pidato, slogan dan spanduk soal nilai Pancasila. Kampanye toleransi. Atau berbagai khotbah nilai baik. Generasi millenial merindukan role model yang bisa mengayomi. Menjadi contoh implementasi Pancasila. Jadi, jika korupsi mewabah. Kekerasan masih terjadi. Kritik kerap dibaca sebagai bentuk ancaman terhadap stabilitas. Maka, kemasan webinar sekian ratus jam soal Pancasila tidak ada gunanya. Ini yang mesti dibenahi.
Masa Depan
Bagi saya, menanamkan dan mengimplementasikan Pancasila secara utuh, murni dan konsekuen, merupakan hal niscaya. Menjadi masa depan ke-Indonesia-an. Tinggal tugas kita bersama berbagi peran. Melakukan gerakan untuk mempopulerkan kembali Pancasila. Dengan berbagai cara dan strategi. Melalui berbagai dimensi dan aneka pendekatan. Perspektif agama dan kebudayaan perlu menjadi bagian pertimbangan agar Pancasila mengakar di publik. Dengan begitu, Pancasila dapat menjadi bagian penting untuk merekatkan kita sebagai satu bangsa. Apalagi di masa pandemi, solidaritas dan saling bergotong royong sebagai bagian dari nilai penjabaran Pancasila sangat dibutuhkan. Ini semakin menunjukan relevansi Pancasila untuk dibumikan kembali secara kontekstual. Semoga