Pemerintah Mendorong Percepatan Perkembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka Kepada Pemerintah Daerah Regional Barat

Saat ini 90% penggunaan bahan baku obat  di Indonesia dari luar negeri dengan hal tersebut melalui pemerintah mengajak kepada seluruh pihak terkait untuk bersama melakukan reformasi sistem kesehatan nasional secara besar-besaran. Reformasi tersebut juga mencakup kemandirian obat dan bahan baku obat yang diharapkan dapat segera dicapai, yang menjadi dasar dorongan tersebut adalah pandemi covid-19 yang melanda Negara Indonesia dan dengan segala dampak yang ditimbulkannya, memberi banyak pelajaran. Pandemi ini telah membangkitkan rasa krisis dalam dunia farmasi untuk memacu kegiatan riset, mengembangkan inovasi-inovasi, merevitalisasi industri bahan baku obat di dalam negeri, hingga memperkuat struktur manufaktur industri farmasi nasional.

Dalam rangka transformasi sistem kesehatan nasional, khususnya pilar transformasi sistem ketahanan kesehatan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI mengajak kepada seluruh Kementerian  terkait khususnya Kementerian Kesehatan melakukan upaya untuk meningkatkan resiliensi sektor kefarmasian hal tersebut diperkuat dengan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan No. 22 Tahun 2019 tentang Satuan Tugas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka. Terdapat 4 pilar sediaan farmasi yang didorong untuk ditingkatkan produksinya di tanah air, yaitu active pharmaceutical ingredients (API) kimia, vaksin, biopharmaceuticals, dan natural. Fitofarmaka merupakan produk berbasis bahan alam yang telah teruji klinis dan bahan baku yang digunakan maupun produk yang dihasilkan sudah terstandarisasi.

Untuk mendukung penyediaan dan kemandirian bahan baku natural, Kementerian Kesehatan dibawah Koordinasi Keementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI  telah memfasilitasi peralatan Pusat Pengolahan Pasca Panen (P4TO) dan Pusat Ekstrak Daerah (PED) serta peralatan laboratorium sejak tahun 2012 kepada 18 (delapan belas) Pemerintah Daerah Provinsi maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Pengembangan fitofarmaka tersebut bertujuan untuk dapat meningkatkan penggunaan obat tradisional/ obat bahan alam melalui pendekatan evidence-base medicine agar dapat meningkatkan keberterimaan klinisi dan masyarakat.

Saat ini terdapat 24 nomor izin edar fitofarmaka dengan 7 indikasi (immunomodulator, tukak lambung, antidiabetes, antihipertensi, melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kadar albumin, dan disfungsi ereksi) dan akan terus ditingkatkan pengembangannya.

Untuk menjamin keberlangsungan produksi dan pengembangan fitofarmaka, perlu didukung dengan peningkatan demand fitofarmaka terutama di fasilitas pelayanan kesehatan. Formularium Fitofarmaka digunakan sebagai acuan penggunaan fitofarmaka pada pelaksanaan pelayanan kesehatan. Selain sebagai acuan penggunaan, digunakan juga sebagai acuan bagi fasilitas pelayanan kesehatan untuk penyediaan fitofarmaka terpilih khususnya dengan pemanfaatan dana alokasi khusus dan dana kapitasi sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 3/2022 tentang Petunjuk Operasional Penggunaan Dana Alokasi Khusus Fisik Bidang Kesehatan TA 2022 dan Permenkes No. 21/2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi JKN untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada FKTP Milik Pemerintah Daerah.

 

Pada kesempatan ini saat mengisi sebagai narasumber pada acara peningkatan penggunaan fitofarmaka di fasilitas pelayanan kesehatan regional barat di Medan tanggal 10 November 2022 dr. Reviani MAPS selaku Asisten Deputi Peningkatan Pelayanan Kesehatan  menyampaikan kepada seluruh peserta agar pemerintah daerah menjalankan Intruksi Presiden No. 2 Tahun 2022 tentang percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi dalam rangka menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), mengingat Presiden sudah menegaskan kembali dukungan dan keberpihakan pemerintah terhadap penggunaan produk dalam negeri.

Kontributor Foto:
Reporter: