Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Satuan Pendidikan Tanggung Jawab Multipihak

KEMENKO PMK -- Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Warsito menyampaikan, kekerasan terhadap anak masih terus terjadi. Saat ini lingkungan pendidikan dan satuan pesantren masih menjadi salah satu lokus terjadinya kekerasan. Hal ini disampaikannya pada Rakor Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan Lingkup Kementerian Agama, di Hotel Grand Rocky, Bukittinggi, Selasa 20/8/2024. 

Data yang diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menunjukkan terdapat 15.120 kasus kekerasan di tahun 2023. Jumlah ini naik lebih dari 50 persen dibandingkan kasus kekerasan pada anak di tahun 2022.

"Institusi pendidikan seharusnya menjadi tempat yang aman dan menyenangkan bagi para peserta didik menjalani pembelajaran. Terutama pesantren, yang mana dalam pelaksanaannya menjalankan peran empat pusat pendidikan yaitu keluarga, satuan pendidikan, masyarakat dan pusat ibadah," ujar Warsito.

Warsito menyampaikan, kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan menurut UU No.35 tahun 2014 dapat berbentuk fisik, psikis, seksual, penelantaran dan bullying. Deputi Wasito menegaskan bahwa hal ini merupakan tanggung jawab bersama, dimana pemerintah memberikan perhatian serius dan mengambil langkah-langkah dalam pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan di satuan pendidikan.

Warsito menyampaikan bahwa pemerintah telah memiliki beberapa payung hukum untuk penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan, yaitu: UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Permendikbudristek No.46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan; Peraturan Menteri Agama No.73 Tahun 2022 dan Kepdirjen Pendis No.1262 Tahun 2024 tentang Juknis Pengasuhan Ramah Anak di Pesantren.

Lebih lanjut, Warsito menjelaskan bahwa semua pihak harus membuka mata terhadap meningkatnya kasus kekerasan di satuan pendidikan saat ini termasuk pondok pesantren. 

"Termasuk pengelola pesantren harus berani _open minded_ dalam memperbaharui tata kelola berjalannya pendidikan di pesantren agar kasus kekerasan yang terjadi tidak terus bertambah termasuk di Sumatera Barat ini", tegas Warsito.


Dia menjelaskan, pemberian pemahaman atau edukasi terkait kekerasan fisik, verbal dan seksual perlu diberikan tidak hanya oleh tenaga pendidik, namun juga oleh orang tua di rumah sehingga anak-anak dapat mengidentifikasi sejak dini perilaku yang mengarah pada kekerasan dan dapat menghindarinya. 

Deputi Warsito menyampaikan bahwa untuk menangani kekerasan di lingkungan pendidikan perlu dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Warsito menjelaskan bahwa Kemenko PMK terus berupaya memaksimalkan peran satuan tugas terpadu yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya untuk dapat melakukan pencegahan dan memberi respon cepat setiap kali terjadi tindak kekerasan di lingkungan pendidikan. 

"Dalam hal ini, Kementerian Agama juga dilibatkan dalam Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang melibatkan organisasi sosial keagamaan," ungkapnya.

Menutup sambutannya, selain adanya satgas terpadu, Deputi Warsito mengajak agar satuan pendidikan keagamaan memiliki pendidik berlatar belakang bimbingan konseling atau psikologi dan membekali para pendidik dengan pengetahuan psikologis, sehingga nampu mendeteksi dini perubahan perilaku murid.

Rapat koordinasi dihadiri oleh perwakilan Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat, Kepala Kantor Kemenag Bukittinggi beserta jajaran, Kepala Kantor Kemenag Agam beserta jajaran, serta perwakilan pesantren di Sumatera Barat. (*)