Semarang (14/2) -- Pembangunan manusia merupakan satu proses yang tidak pernah berakhir, sejalan dengan siklus kehidupan manusia. Pembangunan manusia dimulai sejak seseorang membangun keluarga, mempunyai keturunan, mengasuh anak, menyekolahkan hingga dewasa sehingga kelak siap untuk berumah tangga kembali. Siklus ini berputar terus menerus.
Pemerintah saat ini tengah berfokus mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul dalam rangka mewujudkan generasi Indonesia Emas 2045. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) selaku lembaga tinggi yang berwenang dalam pembangunan manusia melihat pembangunan SDM Unggul secara utuh dengan perspektif Human Capital Life Cycle (Siklus Kehidupan SDM).
Siklus tersebut dapat dilihat dalam lima fase kehidupan yaitu 1) Ibu hamil dan pendidikan anak usia dini secara holistik integratif, 2) Pendidikan dasar dan menengah, 3) Pendidikan tinggi, 4) Angkatan kerja dan keluarga, dan 5) lansia.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan manusia. Berbagai bidang dan tingkat pengetahuan dibutuhkan untuk penanganan dalam seluruh fase siklus hidup manusia. Tidak hanya pendidikan primer yakni pendidikan di bangku sekolah dan kuliah, tetapi pendidkan sekunder juga sangat berperan penting.
Seperti pendidikan pra-nikah yang dicanangkan Menko PMK Muhadjir Effendy. Pendidikan pra-nikah sangat penting dalam pembangunan manusia. Hal tersebut lantaran pernikahan adalah salah satu kunci awal kehidupan manusia dan juga pembangunan manusia.
"Jadi kalau bicara tentang bagaimana membagun SDM yang berkualitas kita juga harus memastikan yang pertama bagaimana memastikan calon-calon pengantin itu memahami akan tanggung jawabnya kelak ketika menjadi orangtua," jelas Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kemenko PMK Agus Sartono, mewakili Menko PMK Muhadjir Effendy dalam seminar nasional bertajuk 'Pengembangan SDM di Era Disrupsi' di Aula Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Jumat (14/2).
Agus menjelaskan, dalam pembangunan SDM pendidikan pra-nikah sangat penting agar calon orang tua memahami akan tanggung jawabnya kelak menjadi orang tua. Mereka harus memahami psikologi keluarga, memahami bagaimana pengasuhan anak usia dini. Dengan kata lain mereka harus paham betul kehidupan calon anak yang akan menjadi penerus banga di masa depan. Mulai dari pemahaman soal gizi anak sejak masih dalam kandungan pada 1000 hari kehidupan pertama hingga anak berusia tiga tahun.
"Kita harus memastikan agar tidak terjadi pernikahan anak usia dini. Hal ini disebabkan karena pernikahan usia dini rentan menimbulkan persoalan," kata Agus.
Calon orang tua yang menikah di usia dini menurut Agus belum siap dalam reproduksi. Bisa jadi karena pernikahan dini membuat orang tua kurang memahami pendidikan/pola asuh anak khususnya pemahaman gizi dan hidup sehat. Akibatnya potensi memiliki anak yg mengalami stunting/kerdil sangat tinggi. Jika hal ini tidak ditangani maka sosial cost akan sangat besar.
"Selama masa kehamilan harus mendapat gizi yang cukup, ibunya juga harus dibebaskan dari tekanan psikis agar anak dalam kandungannya bisa tumbuh dengan baik. Kalau ini tidak dilakukan maka resikonya akan tumbuh anak-anak yang stunting," ucapnya.
"Pernikahan anak usia dini misalnya. Kalau memang mereka belum siap secara reproduksi, bisa jadi mereka tak memiliki pemahaman yang cukup soal pernikahan dan juga tak memiliki kemampuan finansial yang cukup. Akibatnya sangat rentan melahirkan anak yang stunting. Resikonya sangat besar untuk bangsa ini," sambung Agus.
Proses pendidkan pra-nikah perlu dilakukan secara beriringan dengan pendidikan primer yang berkualitas mulai dari pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah, hingga pendidikan tinggi.
Pendidikan sangat strategis peranannya dalam upaya menciptakan SDM Unggul. Pendidikan yang berkualitas juga mampu mengentaskan permasalahan kemiskinan. Sehingga kelak di masa depan akan terwujud generasi emas SDM unggul.
Agus mencontohkan peran penting pendidikan untuk calon orang tua di era disrupsi saat ini berkenaan dengan pemahaman tentang bahaya gadget. "Kita melihat bagaimana ruang keluarga menjadi hampa, orang tua tidak lagi peduli dan mau menanamlan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak. Mereka sibuk dengan gawai/gadget nya masing-masing."
Kepada para mahasiswa peserta seminar Agus berpesan agar berhati-hati menggunakan media sosial, karena jejak digital tidak bisa dihapuskan. Jadi sekalipun lulus dengan cum laude, bisa jadi sulit mencari pekerjaan karena tidak cerdas bersosial media.
Agus juga meminta agar setiap orang terus menyadari akan pentingnya membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Pendidikan sebagai rekayasa sosial untuk membudayakan manusia harus mampu memutus mata rantai kemiskinan.
"Jadi pemerintah sangat concern sekali untuk memutus mata rantai kemiskinan dengan melihat human capital life cycle secara utuh ini dan menanganinya secara komprehensif," pungkas Agus.
Turut hadir dalam seminar nasional Rektor Unimus, Pimpinan Muhammadiyah wilayah Semarang, Sesmenko PMK Y.B Satya Sananugraha, Deputi Bidang Koordinasi Kerawanan Sosial dan Bencana Doddy Usodo, Deputi Bidang Koordinasi Penaggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Ahmad Choesni, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Agus Suprapto, Staf Ahli Menko PMK Aris dan Hazwan Yunas.