Jakarta (1/10) – Pelaksana tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Y. B. Satya Sananugraha mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan sudah mencapai kondisi darurat. Menurut dia, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat.
Sananugraha menyampaikan, berdasarkan data dari Komnas Perempuan, angka kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Kekerasan seksual kondisinya mencapai taraf darurat. Angkanya bahkan meningkat hingga 58% selama pandemi Covid-19. Menurut dia, angka ini bisa saja jauh lebih besar, mengingat sebagian korban enggan melaporkan kasusnya.
"Kekerasan seksual di Indonesia sudah dalam kondisi darurat, sehingga harus ditangani secara tepat, adil, komprehensif dan holistik, “ ujar Sananugraha saat membuka Diskusi II: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Ditinjau dari Perspektif Lintas Iman dan Budaya, yang diselenggarakan secara luring dan daring pada Senin (28/9).
Oleh karena itu, imbuh Sananugraha, diperlukan landasan hukum yang komprehensif dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terutama landasan hukum yang berpihak pada korban. "Harapan kami, RUU PKS kembali masuk Program Legislatif Nasional (Prolegnas) 2021, dan dapat segera diselesaikan," ucapnya.
Diskusi menampilkan narasumber Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Dr. Hamim Ilyas, Parisadha Buddha Samanta Surya, Komisioner Komnas Perempuan dan umat Kristiani Theresia Sri Endras Iswarini, dan Ketua GEMAKU Kristan. Sebagai penanggap, yakni Dosen Univeritas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng NTT, Fransiska Widyawati.
Dalam diskusi disampaikan berbagai pandangan mengenai penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, baik dari prespektif keimanan dan perspektif kebudayaan. Hamim Ilyas, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menjelaskan dalam hidup tidak dibenarkan menyakiti, termasuk melakukan kekerasan. RUU PKS perlu disahkan, karena dengan adanya landasan hukum ini maka mindset, suprastruktur, dan kesadaran terkait kekerasan harus terus diperbaiki. Dalam hal ini agama berperan penting, karena agama bisa membangun mindset, dan kesadaran.
Samanta Surya dari Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia menjelaskan bahwa tujuan ajaran Budha adalah menunjukkan jalan kebenaran kepada seluruh manusia. Dalam pandangan Budha, keberadaan dan keterlibatan perempuan memiliki derajat yang sama dengan laki-laki, dan tidak dibenarkan adanya kekerasan. Diperlukan instrumen hukum negara untuk menghentikan kekerasan seksual.
Theresia Sri Endras Iswarini, Komisioner Komnas Perempuan dan juga umat Kristiani, bahwa dalam perspektif Katolik dan Kristen, keadilan merupakan bagian integral dari keselamatan. Upaya gereja dalam merespon kekerasan di lingkungan gereja antara lain Vatikan mengeluarkan pedoman penanganan kasus pelecehan seksual terhadap anak di dalam gereja. Negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi hak konstitusional warga negara atas rasa aman dan bebas dari diskriminasi, dan negara melalui parlemen harus segera mengesahkan RUU PKS.
Ketua Generasi Muda Khonghucu Indonesia (Gemaku) Kristan menjelaskan, dalam pandangan Konghucu, perempuan dan laki-laki itu sifatnya komplementer, saling melengkapi. Konghucu menghargai perempuan, bahkan posisi “imam perempuan” bukan merupakan hal yang aneh. Kristan menyatakan dukungan agar segera disahkannya RUU PKS, yang sesuai dengan ajaran agama.
Dosen Univeritas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng NTT, Fransiska Widyawati menyampaikan bahwa setiap agama mendukung peningkatan penegakan keadilan. Pemuka agama harus mengedukasi dan menjadi agen dalam penegakan keadilan sesuai dengan ajaran masing-masing. Setiap substansi perlindungan dan keadilan dalam setiap agama harus bisa ditampung dalam RUU PKS.
Kegiatan diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan Seminar Nasional ‘Meneguhkan Peran dan Tanggung Jawab Negara bagi Perlindungan Korban Kekerasan Seksual’ yang merupakan kerja sama Kemenko PMK dan Pusat Studi Islam, Perempuan dan Pembangunan Institut Teknologi dan Bisnis ‘Ahmad Dahlan’ Jakarta. (*)